Hujan Januari 2023, tak hentinya menuai (Part 1)
Bulan Januari 2023, hujan masih sering mengguyur alam dengan
segenap hatinya.
Dua minggu yang lalu, kusarankan Pendakian Wajib anggota muda Mudgara Pala untuk dilaksanakan pada weekend diakhir Januari 2023, lebih tepatnya pada tanggal 27 hingga tanggal 29. Mengambil jalur lintas dengan pendakian jalur via Panderman untuk naik, dan turun via jalur Serah Kencong. Tentu dengan harapan; (1) memperbanyak literasi kekayaan pengalaman jalur pendakian Gunung Buthak, (2) memberikan pengalaman lebih kepada anggota baru, (3) pendakian lebih lancar dengan adanya jalur yang lebih memudahkan disalah satu jalur pendakian. Sebelum masuk ke inti cerita, ada baiknya saya jelaskan satu persatu rentetan dari banyak poin yang menimbulkan pertanyaan dari awal paragraf ini.
Apa itu Mudgara Pala?
Mudgara Pala adalah ekstrakulikuler berbasis kegiatan pecinta alam
di SMK PGRI Wlingi. Dibentuk sejak Juli 2010 dan mengalami pasang surut
kegiatan serta kepengurusan dalam prosesnya. Bernama Gregoriant saat awal
pembentukan dan terus berkembang sehingga mengalami vakum pada 2014-2016. Mulai
2016 setelah berganti nama seperti yang dikenal saat ini; Mudgara pala. Kegiatan
ekstrakulikuler ini mulai kembali hidup dan beregenerasi hingga sekarang.
Apa itu Pendakian Wajib?
Sama halnya seperti banyak kegiatan di organisasi pecinta alam
pada umumnya, Pendakian Wajib adalah satu dari sekian banyak kegiatan yang
harus dilalui anggota muda sebelum mereka berproses menjadi anggota
tetap/anggota bernomor/anggota sah suatu perkumpulan/organisasi pecinta alam.
Pendakian Wajib di Mudgara Pala (yang setelah ini akan disebut Pewe) sifatnya
juga demikian, pendakian ini dimaksudkan memberikan pengalaman nyata bagaimana
proses pendakian kepada anggota muda yang telah selesai melaksanakan diklat
lapangan.
Mengapa Gunung Buthak?
Sebelum pelaksanaan pendakian, para senior memberikan pilihan gunung
yang bisa diambil, diantaranya Gunung Buthak dan Gunung Wilis. Kedua gunung ini
menjadi pilihan karena faktor jarak yang relatif dekat dengan domisili anggota
dan faktor alam yang mendukung untuk pendaki pemula. Gunung Buthak akhirnya
diputuskan untuk diambil dengan memilih lintas jalur; Panderman - Serah
Kencong.
Inti cerita.
Proses Pendakian Wajib (Pewe) anggota muda Mudgara Pala pada bulan
Januari 2023, diawali dengan kegiatan administratif; pendataan peserta dan
pendamping, list kebutuhan, penyusunan proposal, surat menyurat, dan presensi.
Pada proses administratif, disimpulkan bahwa peserta Pendakian Wajib ada 8
orang yang berasal dari angkatan 2021 yang belum melakukan Pewe, dan seluruh
anggota dari angkatan 2022, ditambah pendamping dari angkatan sebelumnya hingga
diterima data 13 orang peserta pendakian; Anggun, Alya, Cindy Defana, Desica,
Desta, Niko, Yana, serta senior pendamping Alfa, Aflah, Agnes, Aji, dan
Rojab.
Januari, 27, hari Jum'at sore, peserta pendakian telah bersiap
dengan barang bawaan mereka dan berkumpul didepan sekretariat Mudgara pala yang
terletak di kampus I SMK PGRI Wlingi. Sebelum berangkat, terlebih dahulu
dilakukan beberapa hal untuk memastikan kesiapan peserta Pewe; melakukan
pengecekan barang bawaan, pembagian kelompok, packing bersama, dan memastikan
transportasi. Setelah transportasi terkonfirmasi kesiapannya, peserta Pewe
segera loading barang ke atas mobil pick-up yang telah parkir di depan pintu
gerbang sekolah. Hari semakin sore, diputuskan tim Pewe segera berangkat meluncur
ke Kota Batu sebagai lokasi titik awal start pendakian, jalur Panderman. Aku
yang saat itu juga membantu persiapan tim, diputuskan untuk tidak ikut ke
basecamp Panderman mengingat kondisi semakin mendung. Setelah tim berangkat,
aku pulang. Satu hal yang kulupakan saat aku perjalanan pulang adalah; aku lupa
mengajak tim untuk melakukan doa melingkar seperti yang biasa kami lakukan
sebelum melakukan kegiatan. Mungkin dari sinilah titik awal aku mulai merasa
ada yang kurang dan janggal. Meski dirumah, aku selalu meminta update tim
melalui group whatsapp. Dari sana, kuketahui bahwa tim diguyur hujan selama
perjalanan, dan sampai di basecamp pendakian sekitar pukul 19.00 lalu
memutuskan untuk istirahat disana dalam suasana cukup kedinginan.
Januari, 28, hari Sabtu pagi. Tim bangun sepagi mungkin, persiapan
pendakian, sehingga perjalanan dimulai cukup pagi yakni pada pukul 06.30
seluruh peserta Pewe dapat memulai pendakian. Meski sempat tercecer selama
perjalanan, seluruh tim akhirnya dapat camp di satu lokasi yakni di Sabana
Gunung Buthak, di dekat sendang/sumber air. Dilokasi yang berbeda, sepulang
bekerja, Sabtu siang menjelang sore aku berangkat ke SMK PGRI Wlingi untuk
mengecek kesiapan kendaraan penjemput yang akan kami gunakan esok hari. Sembari
menunggu Nasrul, teman yang akan bersama berangkat ke Serah Kencong, aku
melakukan pengecekan akhir barang bawaanku (kusadari bahwa ternyata aku lupa
membawa sadal jepit dan charger HP) dan tak hentinya juga aku memanjatkan doa
untuk keselamatan dan kesejahteraan tim Pewe dalam perjalanan.
Sekitar pukul 16.10 kami berdua berangkat ke Serah Kencong dengan
guyuran hujan hampir sepanjang perjalanan. Sesampainya disana, kami sempat
mengobrol sebentar dengan Pak Malin penjaga pos Serah Kencong, menyampaikan bahwa
anggota kami besok akan turun di Serah Kencong dari puncak Buthak via jalur
Panderman. Setelah memarkirkan sepeda motor, kami bergeser ke Warung Bu Tia,
warung "Puncak Pecel" yang terkenal dengan jargon; puncaknya pecel
Blitar. Ada menu teh yang merupakan teh asli khas Serah Kencong. Kami memesan
teh ini pertama kami sebelum memesan menu lainnya setelah mengobrol panjang
lebar diteras warung. Tenda kami dirikan sekitar pukul 19.30 di dekat warung
setelah selesai melaksanakan sholat Isya' berjamaah. Hujan terus mendera kami
malam hingga kami tertidur. Sebelum mata terpejam, doa untuk tim Pewe kembali
kuselipkan.
Januari, 29, hari Minggu. Pagi dini hari HP-ku sudah shut-down,
sehingga sedikit terselip kecemasan. Nasrul sudah bangun terlebih dahulu untuk
sholat subuh berjamaah di Masjid. Aku terbangun dari tidur setelah mendengan
langkah Nasrul yang kembali dari Masjid. Disaat Nasrul menyiapkan sarapan dan
menyeruput kopi, aku kembali tidur didalam sleepingbag. Sekitar pukul 06.15 aku
bangun dan melihat Nasrul telah selesai sarapan dan sedang melakukan pemanasan.
Sebelum ia berangkat, aku meminjam HP kecilnya agar dapat melihat waktu dengan
tepat karena jam tanganku rusak dan HP-ku yang tak bisa digunakan. Setengah
tujuh, ia berpamitan berangkat menuju puncak. Kutitipkan salam kepada tim Pewe
kepadanya. Kami saling melambai sebelum akhirnya ia bergegas menjauh dari
tenda. "Bismillahi tawakkaltu 'alallah.. Lahaulawala kuwwata illahi
billahil 'aliyyiladziim.. Ya Allah, Tuhan Maha Agung dan Perkasa, lindungilah
kami, adek-adek hamba dalam perjalanan pendakian ini, berikan mereka kekuatan,
berikan mereka keselamatan.." Begitulah doa-doa yang kupanjatkan.
Pukul 08.15 pagi aku pun beranjak untuk menaiki jalur dari Serah
Kencong menuju Wukir Negoro yang menjadi titik tempatku menunggu tim. Dengan
membawa perlengkapan seadanya, pukul 09.30 aku sampai di Wukir Negoro. Segera kubentangkan
flysheet Nasrul yang telah kubawa, kebentangkan pula ponco sebagai alas
dibawahnya, lalu setelah cukup mengatur nafas, kerebahkan tubuh didalam shelter
sederhana itu dan mencoba tidur. Cukup lama didalam shelter, sayup-sayup suara
tetangga yang juga camp di Wukir Negoro mulai menghilang. Pukul 10.43 aku
keluar dari shelter, sekelilingku sepi dari suara manusia, namun ramai dengan
gemerisik angin berhembus, suara burung berkicauan, tentu juga dengan suara
lebah yang lalu lalang disekitarku.
Kubereskan shelter, kecuali ponco yang tetap kubiarkan diluar
ransel. Aku berpindah tempat dengan duduk diam merenung di atas kayu cukup besar.
Kucoba membakar tumpukan ranting didekat tempatku duduk dengan maksud membakar
sampah-sampah yang berserakan disana, namun selalu digagalkan angin dan
ternyata ranting juga terlalu lembab akibat hujan semalam. Aku menyerah,
kunyalakan rokok saja kalau begitu, pikirku. Kemudian sayup-sayup kudengar
gesekan semak-semak dari arah hutan, suaranya semakin lama semakin jelas
seperti ada seseorang yang melewatinya. Dan benar saja, seorang pendaki
laki-laki remaja dengan ransel biru besar keluar dari semak-semak itu. Kusapa
pendaki itu, lalu kutanyakan tentang Nasrul yang lari naik gunung dan tim Pewe
kepadanya. Benar ia bertemu Nasrul di perjalanan turun dan memberikan informasi
bahwa tim Pewe yang kutanyakan masih berada di puncak. Puncak? Masih di puncak?
kulihat HP kecil yang kupinjam dari Nasrul, pukul 11.37 dan aku mulai
gundah.
Segera kubereskan barangku setelah berpisah dari pendaki tadi.
Kuhitung skala resiko yang mungkin kuhadapi jika aku terpaksa bermalam dalam
pendakian dan perlengkapan yang kubawa. Ponco, check; flysheet, check; air,
check; makanan, check; alat masak, check; pisau, check; p3k, check; pasak, alat
tulis, korek, headlamp, check; setidaknya aku bisa bertahan sehari semalam
dengan barang-barang ini jika terjadi sesuatu. Kembali aku melakukan pemanasan
seadanya, lalu memulai langkah menuju pos satu.
Dalam perjalanan dari Wukir Negoro, sudah kutemui empat orang
pendaki yang juga kutanyai perihal tim Pewe dan Nasrul. Dari informasi yang
kuterima, semakin bulat tekadku melangkah untuk sampai di pos satu. Sekitar
satu jam perjalanan, kutemukan tempat yang cukup luas untuk beristirahat,
kuletakkan ransel dan kulihat waktu yang menunjukkan pukul 12.42; "tentu
sudah masuk waktu Dhuhur" pikirku. Kucari pohon dengan kulit cukup halus
untuk mengambil tayamum, kubentangkan cover ransel sebagai sajadah dengan
mengira-ngira arah kiblat menggunakan letak Gunung Kelud, kurapikan pakaianku,
kuatur kerudungku dengan menggunakan buff agar daguku tertutup; kumulai sholat
dhuhur. Setelah salam, kembali kupanjatkan doa untuk teman-temanku dalam
perjalanan mereka. Suasana mendung, awan cukup tebal dan keabu-abuan, angin
berhembus cukup kuat dan lembab, seperti bertanda akan hujan kapan saja.
Kembali kuangkat dan kugendong ranselku, aku harus kuat, begitu kataku sebagai
penyemangat diri sendiri. Kurasakan deruan angin yang sesekali menghempas
tubuh, meggoyangkan pohon kecil dan semak-semak, membuatku terbuai dengan
suasana ini.
Kaget! Seperti jantung yang nyaris copot dari tempatnya saat
kulihat Nasrul tiba-tiba muncul beberapa meter didepanku dan
menyapaku;"Mbak!" Astaga. Sambil tersenyum lebar ia melihatku yang
terkaget karenanya, lalu kemudian bertanya kenapa aku bisa naik sampai disana.
Sambil mengatur detak jantung, kujawab bahwa aku gabut karena terlalu lama
menunggu di Wukir dan berinisiatif naik sampai pos satu. Sambil tertawa, ia
menyarankanku untuk turun saja sambil memberikan informasi bahwa tim dalam
keadaan aman dan sehat. Namun kemudian ia menambahkan jika ingin sampai di pos
satu juga tidak apa-apa, "jaraknya sekitar 5-10 menit dari sini. Nanti
ketemu di Wukir ya mbak." ucapnya sebelum kami berpisah. What? 5-10 menit?
Itu mungkin baginya, namun bagiku itu bisa dua atau tiga kali lipat, sambil
menggerutu aku tetap melangkahkan kakiku menuju pos satu. Beberapa meter
sebelum pas satu, terdapat pohon cukup besar melintang ditengah jalan.
Kuputuskan merebah sebentar diatas pohon ini sambil bersandar pada ransel.
Kembali kata-kata Nasrul terngiang; "anak-anak aman mbak." Lalu
kutengok ke atas, terlihat pohon besar yang menjadi ciri khas pos satu; sudah
deket juga, pikirku. Kuputuskan untuk turun dari titik ini, dengan harapan
bahwa tim benar-benar dalam keadaan baik, dan doa kembali kupanjatkan.
Cukup membutuhkan waktu sekitar 25 menit untuk sampai di Wukir
Negoro dari tempat tadi. Disana Nasrul sudah menunggu, persis seperti yang
sudah ia katakan sebelumnya. Kami membuat secangkir kopi sebelum memutuskan
segera turun karena mendung sudah semakin pekat, juga karena Nasrul belum
melaksanakan sholat Dhuhur. Ditengah perjalanan turun ke Serah Kencong, kami
bertemu sungai kecil sehingga kami memanfaatkannya untuk mengambil wudhu lalu
kemudian melaksanakan sholat dhuhur berjamaah didekatnya. Tak henti-hentinya
fokus doa-doaku untuk kekuatan dan keselamatan tim.
Selanjutnya..
Comments
Post a Comment