Hujan Januari 2023, tak hentinya menuai (Part 2)
Kami sampai di Serah Kencong saat hujan mulai turun. Saat itu juga
segera kami membereskan tenda dan barang-barang didalamnya. Zufen dan Arnes
yang tidak dapat ikut Pewe juga tengah menanti kami. Kami pun juga bertemu pak
Sukri dan mobil pick-up SMK PGRI Wlingi yang beliau kendarai untuk mengangkut
kami pulang. Sambil basah kuyup akibat kehujanan saat membereskan tenda, kami
memesan kopi di warung Bu Tia yang dekat dengan masjid. Setelah masuk waktu
maghrib, beberapa pendaki terlihat mulai berdatangan, namun tidak ada satupun
dari anggota tim Pewe. Dari pendaki-pendaki tadi yang ternyata juga sama-sama
siswa dari SMK PGRI Wlingi, kami mendapatkan informasi mengenai keberadaan tim
Pewe; "mereka masih di pos dua dan pos satu, mbak. Gones cidera."
katanya. Setelah berkoordinasi, pukul 19.00 kami putuskan Nasrul, Zufen, dan
Arnes menyusul tim Pewe sampai di pos satu. Pikiranku sudah kacau saat itu.
19.15 sesaat sebelum mengikuti sholat Isya' berjamaah di masjid,
aku menyapa pendaki yang baru saja turun dan berteduh diteras masjid, dan
betapa leganya ternyata salah satu dari rombongan itu adalah Alfa, salah satu
anggota tim Pewe. Alhamdulillah.. ucapku lega. Aku ijin sholat terlebih dahulu
sebelum kutanyai Alfa lebih lanjut. Dari Alfa kuterima informasi bahwa ia dan
tim ternyata terpisah cukup jauh dan ia tidak tahu menahu lagi bagaimana
keadaan teman-temannya. Kepanikan kembali mendera. Ya Allah, berikan kekuatan
kepada kami. Untuk memecah rasa panik yang mendera, kutemui dan kuajak
mengobrol pak Sukri yang sedang menikmati kopi di warung. Alfa dan teman-teman
pendaki yang baru turun juga sesekali kutanyai terkait keadaan tim Pewe saat
terakhir kali mereka bertemu.
Dengan gusar, kuputuskan menuggu dibawah payung gazebo dekat
dengan titik awal pendakian jalur Serah Kencong. Sekitar pukul 20.13 terlihat
mobil pick-up putih yang parkir agak terburu-buru di jalan utama Serah Kencong.
Kedua penumpangnya turun dan seperti bergegas menuju mobil pick-up SMK PGRI
Wlingi, aku yang merasa tidak beres segera turun dari gazebo dan mengikuti
penumpang tadi. Ternyata benar, beliau berdua adalah pasangan suami istri yang
merupakan kakak Yana, salah satu anggota tim Pewe yang sampai saat ini belum
turun. Kuajak mereka mengobrol dan memberikan informasi mengenai tim Pewe.
Sekitar pukul setengah sepuluh malam, Daniel yang merupakan teman Zufen datang
karena khawatir setelah menerima kabar dari Zufen. Akhirnya pukul sepuluh
malam, aku, Daniel, dan kakak ipar Yana memutuskan naik sampai di pos Brak
Papat atau Wukir Negoro dengan harapan dapat bertemu tim Pewe yang sedang
turun. Saat itu yang ada dibenakku adalah tim Pewe kembali camp semalam lagi di
pos satu dan pos dua.
Sedikit lagi sampai di Brak Papat, napasku sudah tercekat dan
seperti tidak ada tenaga untuk kaki melangkah naik. Aku meminta Daniel naik
seorang diri untuk memeriksa keadaan, namun Daniel enggan jika sendirian. Kami
bertiga pun memutuskan untuk turun dengan berfikir positif bahwa tim sudah
mendirikan camp. Gerimis mengguyur kami sepajang perjalanan. Kami tiba di Serah
Kencong pada tengah malam, aku meminta pak Sukri untuk kembali pulang dan jika
memungkinkan untuk kembali ke Serah Kencong keeseokan harinya, dan
alhamdulillah beliau bersedia. Aku pun bergegas melapor ke Pak Malin sebagai
penjaga pos tentang keadaan tim Pewe dan meminta petunjuk serta kerjasama dari
beliau jika terjadi sesuatu kepada anggota kami di atas. Lalu terakhir aku juga
menyarankan kepada kakak Yana untuk kembali pulang istirahat dirumah (mengingat
anak kedua mereka yang masih balita) dan menunggu informasi lebih lanjut dari
kami esok hari. Daniel pun segera pulang saat itu. Aku kembali basah kuyup
karena perjalanan naik barusan. Segera kupakai sarung dan jaket sebagai baju
ganti kering. Kusiapkan kompor dan cooking-set diluar jika sewaktu-waktu
dibutuhkan, barang-barang penting kusiapan didalam ransel jika tiba-tiba harus
bergegas. Sleepingbag kupakai dan merebahkan badan diatas kursi kayu panjang
didepan restoran Serah Kencong, tidak bisa rasanya kupejamkan mata untuk tidur.
Januari, 30, sekitar pukul satu dini hari kudengar sapaan Zufen
dari atas; "Mbak..." Saat itu juga aku segera bangun terduduk dan
kupastikan lagi itu benar-benar suara Zufen, bukan suara-suara samar yang
selalu kudengar selama masa penantian tim. Benar, dari atas terlihat cahaya
dari dua senter dan sesosok pemuda yang membawa dua ransel besar di tubuhnya
dengan berjalan sambil terseok-seok; Zufen! Air mataku sedikit keluar dan aku
tersenyum lebar saat melihat ada juga Aflah dibelakangnya. Zufen yang naik
tanpa alas kaki beberapa jam yang lalu, kini kakinya penuh darah akibat
beberapa lecet dan pacet yang sempat menempel dikakinya. Selang beberapa waktu
kemudian, teman-teman Karangrejo yang dipimpin Teguh (ketua IPN) datang dari
perjalanan mereka ke Malang karena mendapat informasi dari Daniel. Setelah
kedatangan Zufen dan Aflah, menyusul kemudian datanglah Arnes dan Yana. Lalu
dibelakangnya juga datang Niko dan Cindy yang berselah beberapa puluh menit
kemudian. Dan rombongan yang merasa datang paling akhir terdapat lima orang
yakni Defana, Desica, Alya, Rojab dan Nasrul sebagai sweeper. Dari tim yang
harusnya terakhir ini disimpulkan bahwa Aji, Anggun dan Desta belum kembali,
padahal menurut mereka harusnya Aji dan kedua orang ini sampai setelah Zufen. Ya
Allah, beri hamba petunjuk..
Teguh dan ketiga temannya segera kembali pulang melihat keadaan
tim kami yang sepertinya dalam keadaan baik. Tak lupa aku mengucapkan terima
kasih dan berpesan untuk berhati-hati dijalan. Tim Pewe yang sudah sampai di
Serah Kencong mencari tempat nyaman untuk segera beristirahat, kuperiksa
satu-persatu dari mereka agar mereka dapat setidaknya merebahkan tubuh dengan
nyaman dan cukup hangat. Adzan subuh mulai menggema dari masjid, dan belum ada
tanda-tanda kedatangan Aji, Anggun dan Desta. Aku bergegas ke masjid agar bisa
ikut berjamaah. Dan doa terus kupanjatkan untuk keselamatan mereka
bertiga.
Pagi hari menjelang, beberapa dari tim seperti Niko, Defana, Alfa
memilih tidur di gazebo warung bersama teman-teman dari SMK yang telah lebih
dulu disana; Arnes dan Zufen tidur didepan restoran dengan beralaskan satu
matras untuk berdua dan berselimut sarung hasil meminjam masjid; sisanya
seperti Nasrul, Rojab, Cindy, Desica, Alya, Aflah, dan aku istirahat di gazebo
dekat jalan jalur pendakian dengan seadanya, bahkan Desica dapat tidur hanya
dengan pakaian yang menempel ditubuhnya; "pasti capek banget anak
ini" pikirku. Sambil duduk diujung gazebo, aku mencoba tidur setelah
pulang dari masjid. Namun yang terbayang dan terdengar adalah sayup-sayup sosok
dan suara dari mereka bertiga yang belum kembali.
Beberapa dari kami mulai terbangun dan memulai aktifitas pagi,
membeli sarapan di warung dan membuat kopi. Mobil pick-up yang dikemudikan pak
Sukri datang sekitar pukul 07.40 saat itu tim sudah bergegas dan siap untuk
pulang. Saat berkoordinasi, kami memutuskan memecah tim senior menjadi tiga;
(1) Narul, Rojab, dan Arnes akan kembali naik dan menyisir jalur untuk mencari
keberadaan Aji, Desta dan Anggun; (2) Zufen dan teman-teman dari SMK akan
membantu evakuasi Agnes dari pos dua untuk di tarik turun menggunakan motor
trail; dan (3) aku beserta tim Pewe yang sudah terkumpul di Serah Kencong akan
kembali ke sekolah dan melapor ke Waka Kesiswaan perihal keterlambatan dan
menambah ijin satu hari di hari Senin ini. Keperluan dari ketiga tim kami
siapkan, ransel tim sudah dinaikkan dan ditata keatas mobil pick-up, kami
bersiap pulang ke SMK PGRI Wlingi.
Sesaat sebelum berangkat, dari pos penjaga terdengar satu petugas
meneriaki kami; "woi, mbak mas, teman sampean ada yang dijalan buat nunggu
mobil." Reflek saat itu sudah kulihat Niko berlari kearah yang ditunjukkan
penjaga pos, aku meneriaki Zufen untuk ikut berlari menyusul Niko dan
memastikan bahwa mereka adalah anggota tim, pun aku juga berlari kecil sambil
menahan linu di kaki, Rojab juga tak kalah cepat dengan mengendarai sepeda
motor Nasrul untuk menyusul kami. Saat kulihat dari kejauhan dengan samar ada
satu anak yang mencoba naik diboncengan sepeda motor, dan dua anak laki-laki membersamainya,
air mataku membuncah; alhamdulillah, kuucapkan dengan tubuh membungkuk seperti
ruku'. Aku berlari kecil sambil menangis menuju Desta; "Kamu kemana aja
sih Des? tak tungguin.." kataku saat kuraih tangannya dan spontan sedikit
memeluk tubuh besarnya. Hanya senyum yang Desta berikan untuk meresponku.
Dibelakang Desta kuraih tangan dan bahu Aji sambil masih menangis. Lalu
berjalan beriringan bersama mereka menuju tempat parkirnya mobil pick-up dan
semua anggota yang menunggu. Mendapati Anggun yang duduk dikelilingi
teman-temannya, aku memeluk Anggun sambil mengucap syukur dan air mata
berderai, ke elus lembut punggung anak ini. Setelah jawaban aman dari Anggun
aku membalikkan badan dan menyelesaikan tangisanku yang tidak dapat kutahan.
Setelah mengatur emosi, kuminta ada yang mau membelikan sarapan untuk mereka
bertiga, dan ternyata Rojab sudah terlebih dahulu berangkat ke warung. Kami
beranjak pulang segera setelah Aji, Anggun dan Desta selesai sarapan. Zufen dan
Arnes masih tinggal di Serah Kencong untuk memastikan Agnes yang masih
perjalanan dari pos dua turun dengan aman.
Perjalanan menuju ke sekolah merupakan suatu anugrah yang sangat
kusyukuri. Seiring dengan angin yang berhembus, suara cerita dan ocehan serta
gurauan dari mereka mampu membuat tawaku keluar begitu saja, hanya rasa lega
yang kurasakan. Semalam benar-benar malam kurasa panjang dan mencekam; lelah,
takut, panik, bingung, bahkan hanya kekuatan doa yang mampu untuk terus
kupanjatkan. Banyak hal tentu saja yang dapat kupetik hikmahnya dan kuambil
pelajarannya. Sebenar-benarnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang; maka
nikmat mana lagi yang kamu dustakan? Jika merasa ingin menyerah, ingatlah
alasan mengapa ini dimulai. Sehat dan kompak terus untuk kalian. Semoga
kelak kita dapat berbisik perlahan diujung usia; bahwa hidup kita tidak
sia-sia.
Comments
Post a Comment